Timnas U-23 Picture from www.antaranews.com |
Setiap malam warung kopi itu selalu ramai. Malam ini pengunjungnya
lebih ramai dari malam-malam biasa. Karena banyak yang ingin
menyaksikan pertandingan Tim Nasional Indonesia U-23 berhadapan dengan
Tim Nasional Malaysia di Gelora Bung Karno.
Fa’iq, lelaki
berkulit sawo matang dengan model rambut cepak dan kacamata minus. itu
duduk dikursi paling dekat dengan televisi. Dia hanya diam, menyaksikan
dengan khusyu setiap gerak langkah pemain merah putih. Berbeda dengan
para penonton lainnya yang selalu riuh mengomentari aksi para pemain di
lapangan hijau.
Hanya kata “Aduh!” yang selalu terucap
dari bibirnya sambil menepuk pelan lutut atau menggaruk kepala. Seperti
merasakan kesakitan saat melihat Ferdinand Sinaga gagal memanfaatkan
peluang untuk mencetak gol, kekalahan Yongki dalam duel diudara atau
kontrol bola yang kurang cermat.
# # #
Tinggal
di pemukiman padat penduduk yang kumuh. Rata-rata warganya bekerja
sebagai kuli panggul dipelabuhan dan nelayan kecil yang lebih banyak
bekerja menggunakan otot daripada otak. Di mata mereka Fa’iq hanyalah
pemuda pengangguran. Karena setamat SMA Fa’iq tidak melanjutkan kuliah
dan enggan mencari pekerjaan seperti kebanyakan anak muda lainnya.
Sebenarnya dia sedang merintis usaha sendiri namun segala upayanya
tidak pernah dipandang dan sering disepelekan. Bahkah oleh saudaranya
sekalipun.
Fa’iq cukup memahami saudaranya yang hanya
tamatan sekolah dasar, harus bekerja keras setiap hari untuk mencukupi
kebutuhan hidup keluarga. Wajar bila mereka tidak bisa memahami pola
pikirnya yang hidup di era modern dengan perkembangan teknologi. Dia
ingin menciptakan perubahan agar kehidupan masyarakat disekitarnya bisa
menjadi lebih baik. Tapi orang-orang tidak pernah memikirkan niat
baiknya itu. Karena itu dia terus berusaha keras untuk membuktikan pada
semua orang apa yang dilakukannya akan berhasil walau harus menerima
dicela dan dihina.
# # #
Dibabak
kedua. Gawang Timnas yang dijaga oleh Andritany sudah kebobolan satu
gol. Warung kopi itu semakin riuh. Teriakan-teriakan yang terdengar
bukan lagi sebagai bentuk dukungan melainkan cela dan hujatan kepada
Titus Bonai dan kawan-kawan karena tidak bisa menciptakan gol balasan.
Fa’iq masih duduk ditempatnya. Kakinya bergarak-gerak dan beberapa kali
secara spontan menyepak kaki meja seakan ikut bermain di Gelora Bung
Karno.
Memasuki masa injury time para penonton
semakin pesimis. Timnas bisa menang. Peluit panjang ditiup wasit
mengakhiri pertandingan dengan kekalahan Timnas Indonesia 0 – 1 dari
Timnas Malaysia. Fa’iq bangkit dari duduk sambil meregangkan badan
karena duduk terlalu lama dengan perasaan tegang. Wajahnya memerah
menahan emosi dan kesedihan. Celaan dan hujatan kepada pemain Timnas
semakin menjadi-jadi. Membuat seorang anak kecil menangis sedih.
Mirisnya, tangisan anak berkostum merah putih itu malah menjadi bahan
tertawaan
“Realistis dong kawan Timnas memang tidak ada
apa-apanya! Haha....” ucap seseorang, disambut tawa oleh yang lainnya
membuat tangis anak itu semakin keras.
“Bukk!!” Tiba-tiba Fa’iq melayangkan tinjunya ke wajah orang itu dan tidak lain adalah abangnya sendiri.
Membuat orang-orang terkejut dan langsung memisahkan keduanya.
“Tidak
sadarkah abang! Ada darah kakek buyut yang muncrat terkena peluru saat
mengusir penjajah dari negeri ini. Berjuang agar bisa menjadi bangsa
yang merdeka!” Emosi Fa’iq meluap karena sikap abangnya yang berlebihan.
“Itu memang tidak pernah tercatat dalam sejarah bangsa ini tapi tak bisakah abang menghargainya?!”
“Iya aku tahu, tapi apa hubungannya dengan sepak bola?” menyeka darah yang mengalir dari bibirnya.
“Apa
hubungannya dengan sepak bola? Ini pertandingan harga diri bangsa bang!
Mestinya kita berikan dukungan penuh. Sampai kapan bangsa kita
dipecundangi bangsa lain. Batas wilayah yang digeser, kekayaan budaya
yang diklaim karena banyak warga bangsa ini yang berpikirnya seperti
abang. Menginginkan kemenangan namun tidak bisa bersikap menang.
Pesimis! hanya bisa menghujat tidak pernah menghargai mereka-mereka
yang berjuang membawa nama baik bangsa ini.” Fa’iq mengusap butiran air
matanya lalu melangkah meninggalkan warung kopi itu.
Menyisakan tatapan orang-orang yang seperti baru tersadarkan oleh hipnotis kerasnya hidup yang mereka jalani selama ini. End
Tembilahan Hulu, 18 Movember 2011 00.50
Tribute to TIMNAS U-23.
“Dibutuhkan
lebih dari sekedar keinginan untuk berubah menjadi lebih baik.
Melakukan perubahan berarti mengambil resiko untuk di cela, dihina
bahkan dibenci. Seiring waktu dunia akan mengakuinya.”
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah mengujungi Blog saya,
semoga puas dan berhasrat untuk datang kembali. Senantiasa memberikan bonus senang dan bahagia kepada anda yang baik hati.