Tari Bali, Noken, dan TMII Diusulkan Jadi Warisan Budaya Dunia

Sabtu, 30 April 2011

0 komentar
Indonesia kembali mengusulkan tiga unsur budaya untuk masuk dalam nominasi warisan budaya ke Unesco di tahun 2011. Ketiga unsur budaya tersebut adalah Tari Tradisi Bali, noken papua, dan Taman Mini Indonesia Indah (TMII).

Tari Tradisi Bali dimasukkan dalam Daftar Representatif Budaya Takbenda (Representative List of Intangible Cultural Heritage). Noken,tas khas hasil kerajinan tangan masyarakat Papua yang biasanya dibawa dengan disangkutkan di kepala, sebagai nominasi dalam Daftar yang Membutuhkan Perlindungan Mendesak (Urgent Safeguarding of Intangible Cultural Heritage). Sedangkan, TMII sebagai nominasi Penciptaan Ruang Budaya untuk Pelindungan, Pengembangan, dan Pendidikan Warisan Budaya (Best Practices of Intangible Cultural Heritage).

Noken dipilih karena ada kekhawatiran kalau kerajinan tangan ini segera punah. "Saat ini sudah tidak banyak orang yang bisa membuat Noken. Bahkan, di kota-kota besar di Papua jarang yang menjual Noken," kata Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik pada saat penandatanganan berkas nominasi warisan budaya, Senin (28/3).

Beberapa tahun lalu Kemenbudpar sudah mendaftarkan beberapa budaya dan beberapa, seperti wayang, batik, keris, angklung, sudah diakui sebagai warisan budaya. "Setelah diakui kita tanggung jawab untuk lestarikan. Kalau hilang, bisa-bisa dicabut oleh Unesco," kata Jero.

Jero juga menuturkan tidak semua budaya bisa didaftarkan. Pendaftaran dilakukan bertahap. Ia menyebut masalah biaya sebagai kendala. "Harus mengeluarkan ratusan miliar rupiah untuk daftarkan semua budaya. Lagipula, Unesco juga membatasi pendaftaran setiap negara," jelas Jero.

Menteri juga menyebutkan pentingnya dokumentasi budaya. Katanya, dokumen itulah yang akan diteliti Unesco sebagai bukti kalau suatu budaya betul berasal dari daerah yang diklaimkan.

Dengan masuknya unsur budaya Indonesia ke Unesco, menurut Jero, akan memberikan beberapa fungsi, seperti pengakuan dunia akan budaya Indonesia serta pengingatan kembali bagi diri sendiri untuk pelestarian. Dari segi pariwisata, unsur budaya yang masuk Best Practices tentu akan dipromosikan oleh Unesco ke seluruh dunia. (Ni Luh Made Pertiwi F.)
Sumber:http://nationalgeographic.co.id/


Saat ini mata budaya Indonesia yang telah menerima inskripsi dari Unesco yakni wayang (2003), keris (2005), batik (2009), dan angklung (2010).

Berita kawan Pramuka kita

Rabu, 20 April 2011

1 komentar

Malam tadi, sebagai anggota Gerakan Pramuka saya merasa terharu saat menyaksikan berita ditelevisi tentang kegiatan Perkemahan Pramuka yang pesertanya terdiri para kawan-kawan narapida dari berbagai lembaga pemasyarakatan Se-Jawa dan Bali. Ini merupakan hal menarik dan sarat manfaat. Sangat wajar jika kegiatan ini tercatat dalam Museum Rekor Indonesia (MURI).

Berikut ini beberapa cuplikan berita yang saya copy paste dari hasil googling pagi ini.


225 Narapidana Ikut Jambore Pramuka Di Cibubur

TEMPO Interaktif, Jakarta - Sekitar 225 anak narapidana dari 4 provinsi mengikuti Jambore Raimuna Pemasyarakatan di Bumi Perkemahan Cibubur, Jakarta Timur. Acara jambore narapidana anak dan remaja ini dilaksanakan sampai Kamis mendatang. "Ini pertama kali dilaksanakan," ujar Arief Dwi Meiwanto, Kepala Humas Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Ham di Cibubur, Jakarta Timur, Selasa (12/4). Lebih lengkapnya Klik disini.

150 Napi Ikuti Raimuna Pemasyarakatan 2011

Sepintas memang tak ada yang berbeda dari peserta upacara pembukaan Raimuna Pemasyarakatan 2011 yang digelar di Bumi Perkemahan Cibubur pada Selasa (12/4). Dengan berbaris rapi dan mengenakan seragam pramuka lengkap, para peserta perkemahan ini terlihat khusyuk mendengarkan hymne pramuka. Namun, siapa sangka jika setengah peserta yang berdiri di tengah lapangan dan mengikuti kegiatan perkemahan dalam lingkup area Jawa dan Bali ini adalah para narapidana (napi). Kegiatan perkemahan yang mengikutsertakan 150 napi dari berbagai ... Klik disini untuk membaca.

Sebagai anggota Gerakan Pramuka yang masih butuh banyak belajar. Saya sedikit agak bingung dengan berita dibeberapa media online yang saya baca.

Pertama, Berita di Media Tempo berjudul "225 Narapidana Ikut Jambore Pramuka Di Cibubur" sedangkan Website Kantor  Wilayah Kementerian Hukum dan HAM DKI Jakarta menulis "150 Napi Ikuti Raimuna Pemasyarakatan 2011". Saya juga tidak tahu mana sumber yang benar? Sesungguhnya Jambore dan Raimuna itu berbeda.

Kedua, Selain kedua media online yang saya sebutkan diatas juga ada beberapa media lain blog pribadi yang memuat berita serupa. Kenapa sih? Kata Narapidana (NAPI) bagitu ditonjol-tonjolkan. Apakah ini untuk menarik minat pembaca atau kegitan seperti ini terdengar aneh.
Sebenarnya didalam Gerakan Pramuka itu tidak mengenal perbedaan latar belakang atau status sosial. Miskin atau kaya, putih atau hitam, cantik atau jelek kita semua sama warga Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hal seperti ini merupakan langkah tepat sebagai upaya meningkatkan kualitas generasi muda Indonesia. Narapida, apakah karena kalimat itu kita lantas memvonis mereka adalah anak-anak jahat? Mereka harus menjalani masa tahan atas kesalahan yang mereka lakukan tapi mereka juga manusia yang mempunyai hati dan perasaan serta mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi lebih baik.

Ketiga, mengenai garis polisi yang pasang untuk membatasi ruang gerak para para peserta agar tidak kabur itu hanya menandakan belum maksimalnya penerapan dan pemahaman tentang  Tri Satya dan Dasa Darma Pramuka. Jika mereka telah benar-benar memahami serta mengamalkan Tri Satya dan Dasa Darma Pramuka pastilah mereka tidak akan kabur.

Selamat buat kawan-kawan semua yang telah mengikuti kegiatan ini, teruslah tempa dan persiapkan diri kalian untuk kembali ke masyarakat. Ibu Pertiwi akan senantiasa menerima kalian sebagai insan-insan muda untuk turut membangun Bangsa dan Negera Indonesia tercinta.

Ni Wayan Mertayani: Gadis Pemulung dari Bali, Menang Lomba Foto Internasional Museum Anne Frank

Sabtu, 02 April 2011

5 komentar
Googling pagi ini membuatku terdiam sejenak, berpikir sambil menarik napas dalam, Ni Wayan Mertayani. Sebagian orang sudah pasti tahu hal ini tapi aku juga yakin masih ada yang belum mengetahui siapa Ni Wayan Mertayani, berikut ini saya copy paste dari beberapa website berikut ini.

Ni Wayan Mertayani: Gadis Pemulung dari Bali, Menang Lomba Foto Internasional Museum Anne Frank 
Alur hidup Mertayani bisa dikatakan hampir mirip Anne Frank. Sama-sama hidup dalam tekanan, tapi penuh harapan dan cita-cita. Dan, ternyata Mertayani pun mengagumi Anne Frank setelah membaca bukunya yang sesungguhnya sebuah diary.
Ada kemiripan hidup antara Mertayani dan Anne Frank. Sama-sama ditekan dalam sebuah kondisi yang begitu menyulitkan. Bedanya, Anne yang keturunan Yahudi besar di bawah tekanan tentara Nazi pada masa itu, sementara Mertayani besar di bawah tekanan ekonomi.
Kondisi ekonomi yang sangat sulit memaksa Mertayani harus dewasa di usianya yang masih 14 tahun. Sehari-harinya, Mertayani membantu ibunya berjualan asongan di pinggir pantai selain menjalani tugas belajar sebagai siswi di SMPN 2 Abang. Kadangkala, dia ikut mencari barang rongsokan di tepi pantai.
Mertayani merupakan putri sulung almarhum I Nengah Sangkrib dan Ni Nengah Sirem. Sejak ayahnya meninggal, Mertayani tinggal bersama ibunya Ni Nengah Sirem dan adiknya Ni Made Jati. Sejak itu pula, tiga wanita ini berjuang untuk melanjutkan hidupnya dari hari ke hari dengan berjualan atau mencari barang rongsokan.
Aktivitas ini sama sekali tak pernah terbersit dalam benak Mertayani untuk dilakoni. Namun ketabahan ibunya dalam menjalani itu semua membuat Mertayani cuek terhadap cibiran di sekelilingnya. Dan, siapa menyangka, dari aktivitas mengasong dan mencari barang rongsokan, Mertayani justru kenal dengan para wisatawan. Termasuk Mrs Dolly Amarhoseija yang meminjamkan kamera digital serta mengajarkan Mertayani cara membidikannya.
Mertayani sendiri mengaku kagum dengan sosok Anne Frank. Sosok belia ini penuh dengan harapan dan cita-cita meski kenyataannya hidup dibawah tekanan. “Saya mulai mengaguminya (Anne Frank,Red) sejak membaca buku-bukunya,” kata Mertayani.
Dari bacaan itu juga, Mertayani seperti mendapat sokongan semangat bahwa hidup itu memang harus dijalani. Suka duka harus diarungi tanpa harus menanggalkan cita-cita atau harapan. Soal cita-cita, Mertayani sendiri mengaku hendak menjadi wartawan.
Apa yang dialami Mertayani itu ternyata tak berlebihan. Ibunya, Ni Nengah Sirem menuturkan bagaimana pedihnya membesarkan Mertayani dan adiknya, Ni Made Jati. Saat menerima kenyataan bahwa harus ditinggalkan suaminya, Ni Nengah Sirem harus berjuang seorang diri membesar dua putrinya.
Pernah sekali waktu, saat dirinya mencari rongsokan, Sirem dikerjai. Ceritanya, saat itu dirinya sedang sibuk mencari barang rongsokan di tepi pantai. Kemudian, ada seseorang mengatakan bahwa ada tempat yang banyak terdapat barang rongsokannya. Mendengar itu, Sirem langsung bergegas ke tempat tersebut. Tak dinyana, sesampainya di sana bukannya barang rongsokan yang ditemuinya, melainkan bangkai anjing. “Saya cuma bisa bersabar saja,” kata Sirem saat mendampingi Mertayani.
Meski hidup serbakekurangan, ada satu hal yang selalu diajarkan Sirem kepada dua orang puterinya yakni keikhlasan. Karena itulah rumah Mertayani kerap didatangi para wisatawan. Bahkan, sampai ada yang menginap dan Sirem harus menyediakan makanan dengan memotong beberapa ekor ayam peliharaannya.
”Tempo hari ada tamu cewek-cewek dari Italia. Mereka menginap di sini. Mereka nggak keberatan tidur di atas bale. Karena tempat tidur yang kami punya memang hanya itu saja,” pungkas Sirem.
Dengan prestasi yang diperoleh Mertayani, Sirem kini tambah semangat. Apa yang dia yakini dan lakukan selama ini ternyata tidak sia-sia. Dia pun berharap, anaknya itu bisa mewujudkan apa yang menjadi cita-citanya.
Sumber: http://www.indonesiaberprestasi.web.id/?p=5411

Ni Wayan Mertayani, Ayam dan Mimpi jadi Wartawati
Dengan langkah malu-malu, Ni Wayan Merta-yani, 14 tahun, menemui sejumlah wartawan di Radio Netherlands Training Centre di Hilversum, Belanda, Kamis pekan lalu. Dia hanya mengenakan jumper- jaket tipis bertutup kepala-berwarna abu-abu, kaus oblong, dan sepatu kets. Matanya langsung berbinar melihat para kuli tinta menyingkirkan udara dan angin dingin yang berembus kencang menggigit kulit. Maklum, Wayan amat terobsesi menjadi wartawati.
Buku The Diary of Anne Frank, tentang Annelies Marie FVank alias Anne Frank, menginspirasinya untuk rae-matri cita-cita terse-but Dolly Amarhosoija, turis asal Belanda. adalah orang yang memperkenalkan gadis asal Baniar Biasiantang, Desa Purwakerti. Kecamatan Abang. Karangasem, itu dengan sosok Anne yang menjadi korban Holocaust di Amsterdam, Belanda.
Tak cuma buku, Wayan juga meminjam kamera foto milik Dolly. Dia membuat 15 foto dengan kamera itu. Jepretan terakhirnya adalah sebuah potret pohon ubi karet dengan dahan tanpa daun yang tumbuh di depan rumahnya. Seekor ayam bertengger di salah satu dahan, serta handuk berwarna merah jambu dan baju keseharian yang dijemur di bawahnya.
Tak dinyana, foto sederhana itu memikat 12 fotografer kelas dunia dari World Press Photo yang menjadi juri lomba foto internasional 2009, yang digelar Yayasan Anne Frank di Belanda. Tema lomba yang yang diikuti 200 peserta itu adalah “Apa Harapan Terbesarmu?” Wayan menjelaskan, ayam itu simbolisasi diri dan kehidupannya. “Ayam itu kalau panas kepanasan, hujan kehujanan. Sama seperti saya,” ujarnya.
Sulung dari dua bersaudara ini memang berasal dari keluarga miskin. Ibunya, I Nengah Kirem, 52 tahun, sudah bertahun menderita ginjal dan harus bekerja serabutan. Ayah Wayan telah meninggal. Mereka tinggal di gubuk berdinding bilik bambu dengan satu kamar tidur.
Untuk menopang kehidupan, tiap sore hingga gelap menyergap, pelajar kelas HI SMP Negeri 2 Abang, Karangasem, itu berjualan kue jajanan di Pantai Kadang. Jika dagangannya laku, dia bisa memperoleh pendapatan hingga Rp 50 ribu. Tapi lebih sering dia rugi karena banyak yang tidak bayar. “Atau kalau tak habis saya makan sendiri, jadi ya rugi,” ujar Wayan tersipu.
Dia mengaku punya puluhan ayam dan bebek serta beberapa ekor kambing. Ayam-ayamnya pun dibiarkan berkeliaran tak dikandangkan. Terkadang Wayan harus menyabit rumput untuk memberi makan kambingnya sebelum berjualan. Namun, di sela kehidupan keras yang dilaluinya, Wayan biasa meluangkan waktu dengan membaca di perpustakaan milik Marie Johana Fardan, tetangganya yang warga Belanda pemilik vila Sinar Cinta di Pantai Amed.
“Sudah dua tahun dia menjadi langganan tetap perpustakaan. Dia menyukai buku Anne Frank itu,” ujar Marie, yang mengantar Wayan dan adiknya, Ni Nengah Jati, terbang ke Belanda.
Negeri Kincir Angin menjadi tempat pertama Wayan mengenal dunia di luar Bali Wayan mengaku .senang bisa menjejakkan kaki di Belanda, yang menurut dia bersih, ramai, meski cuacanya kurang bersahabat. “Senang tapi makanannya tidak enak, mentah-mentah. Lebih enak jajanan saya,” ujarnya disambut tawa hadirin.
Dari Yayasan Anne Frank, Wayan menerima hadiah berupa kamera saku dan sebuah komputer jinjing dari Radio Netherlands Wereldomroep. Rencananya, jika Yayasan Anne Frank mengadakan acara di Bali, dia akan diundang untuk memamerkan foto-fotonya. Radio Netherlands juga menawarkan tempat untuk Wayan mengirim cerita pendek atau tulisan-tulisannya untuk disiarkan.
Wayan berharap bisa menyelesaikan sekolah dan mewujudkan cita-citanya menjadi jumalis. Sepulangnya dari Belanda, ia mendapat kabar gembira berupa kelulusannya dari ujian nasional. “Saya ingin membahagiakan ibu saya,” ujarnya sendu. Matanya bulat menerawang. Dia sangat sadar kemiskinan mengancam kelanjutan pendidikannya. “Anne Frank lebih susah hidupnya. Jika dia tak mengeluh, saya juga seharusnya tidak,” ujarnya kemudian.
Sumber: http://bataviase.co.id/node/213068